"Menulis itu menyenangkan, menerbitkan itu lain soal." (Brili Agung)
Sudah banyak orang yang menyuarakan akan pentingnya, nikmatnya, dan segala sensasi berkaitan dengan menulis. Mungkin banyak pula yang kemudian terprovokasi, termotivasi, memiliki mimpi untuk bisa menulis dan tentu menjadi penulis. Ketenaran, keberhasilan para penulis besar yang telah menorehkan namanya dalam cover buku-buku best seller seringkali menyilaukan mata para pemimpi. Memang tak ada masalah dengan impian, yang jadi perhatian adalah ketika impian hanya sekedar angan tanpa ada tindakan.
Semangat meluap-luap dari bibir, tapi tak ada karya nyata, ya namanya sama saja. Omong kosong. Bercita-cita jadi penulis, menghasilkan ribuan buku, tapi membiasakan menulis saja ogah-ogahan.
Terpaku pada teori, yang pada akhirnya membuat diri sendiri takut untuk memulai. Takut salah, takut jelek, takut dikritik orang, dan beragam ketakutan yang lain. Lantas bagaimana kita bisa tahu kemampuan kita, jika untuk memulai saja kita sudah menyerah.
Hidup itu bertumbuh. Ketika belum bisa, maka kita belajar untuk menjadi bisa. Ketika belum baik, maka kita berusaha untuk memperbaiki. Dan semua itu adalah proses, tak bisa didapat hanya dengan kedipan mata.
Kemampuan menulis yang baik juga diimbangi dengan banyak membaca. Semakin banyak membaca, membuat kita semakin banyak belajar tentang perbendaharaan kata, gaya bahasa, dll. Selain itu tentunya dengan berlatih menulis secara rutin, dan tak lupa untuk berbagi tulisan kita kepada para pembaca. Untuk apa? agar ada saran dan kritik yang dapat kita jadikan masukan untuk terus memperbaiki kualitas tulisan kita.
Senyatanya, menulislah karena kau ingin menulis. Bukan karena kau ingin dipuja yang membuatmu besar kepala. Apalah arti ribuan buku terbit hasil tulisan kita, tapi tanpa memberi nilai kebermanfaatan karena salah niat yang kita tanam di awal.
"Menulislah untuk menggoreskan sejarah, bukan untuk membuat kita besar kepala." (Akhi Rahman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar